Penggalan Cerita Kezaliman Ayah Penyebab Trauma pada Anak

trauma pada anak

Hari Senin kemarin, saya takziah ke tetangga depan rumah. Anak bungsunya meninggal dunia setelah menderita sakit TB tulang. Diagnosis TB tulang ini saya kurang tahu juga apakah baru diketahui atau sejak adik ini sakit-sakitan Mei silam. 

Duka mendalam sangat terasa ketika saya menyalami ibunya. Tubuhnya amat kurus. Air matanya mengalir mengiringi ucapan terima kasih dan mohon doa juga pemaafan dari kami para pelayat. Saya lupa kapan terakhir kali berjumpa almarhum. 

Meskipun kami bertetangga amat dekat, setiap saya keluar rumah, saya tak pernah berpapasan dengannya. Saya hanya mendengar suara teman-temannya yang berkunjung sejak ia masih SD hingga usianya ke-17 tahun ini. Bahkan di hari-hari sakitnya, saya baru tau kalo teriakan kesakitan itu adalah suaranya. Saking tidak pernah berinteraksi. Saya paling sering berjumpa ibunya. Setiap berpapasan, kami saling senyum seraya bertanya,"Hendak ke mana? Dari mana?" Itu saja.

Minggu kemarin, teriakan kesakitannya makin jelas terdengar. Kami serumah sangat sedih mendengarnya. Namun, kami tak bisa berbuat apa-apa. Banyak kabar terdengar tentang betapa menderitanya anak ini. Ayah ibu bercerai karena ayah punya istri lagi. Biaya hidup dan makan dia, saudara kembarnya, dan kakak sulungnya tidak terpenuhi dengan baik.

Beberapa kali ibu saya cerita kalau jatah untuk anak-anak ini dititipkan pada nenek dari bapaknya. Kebetulan rumah mereka memang sangat berdekatan. Rumah mereka berjejeran. Sayangnya, kalau tidak diminta, neneknya tidak memberikan  jatah cucu-cucunya ini. Akhirnya adik ini tidak sekolah karena tidak minta uang ke neneknya. Mengapa tidak minta uang? Mungkin sungkan atau alasan lain. Wallahualam.

Adik ini melanjutkan pendidikan ke pesantren selepas SD. Di tengah jalan, bapaknya mengaku tidak bisa membiayai pendidikannya di pesantren. Dengan sangat berat hati, adik ini putus sekolah. Ia tidak percaya kalau bapaknya tidak mampu. Kerap kali ia utarakan ketidakpercayaannya pada Uwaknya, kakak ipar bapaknya. Sang Uwak hanya bisa memintanya bersabar dan banyak berdoa.

Kezaliman Ayah Penyebab Trauma pada Anak

Hari terus berlanjut. Kemarahannya membesar. Ia kehilangan nafsu makan. Dari cerita Uwaknya pada ibu saya, anak ini sudah sebulan tidak mau makan. Setiap bapaknya datang menjenguk ke rumah, ia menonjoki bapaknya. Si bapak untungnya tidak membalas dengan kemarahan. Ia membujuk anaknya supaya bersabar dan banyak berdoa.

Rumah yang ditempati anak ini sudah amat reyot. Pintu depannya tak bisa dikunci dari luar. Atap bocor, tembok sangat kusam, dan sebagainya. Sang ibu harus banting tulang membiayai hidup dirinya dan ketiga anaknya. Sebagai guru Paud, gajinya berkisar 1-2 juta/bulan. 

Tak hanya urusan ekonomi, ia pun harus berjuang mengatasi trauma akibat KDRT yang dialaminya selama menikah. Mereka memang sudah bercerai, tapi bentakan dan kata-kata kasar masih kerap ia terima atau anak sulungnya terima. Laki-laki itu tak pernah sadar bahwa ia menyumbang begitu banyak luka penyebab depresi bagi mantan istri dan anak-anaknya.

 

trauma pada anak
image by Vika_Glitter by Pixabay

Susi, nama sang ibu, sering disalahkan keluarga besar mantan suaminya. Bahkan ketika anak bungsunya meninggal, adik mantan suaminya pun tetap menyalahkan dia. Ibu mantan suaminya pun bersikap sama.

"Teh Susi teu telaten ngasih makan, teu telaten ngurus anak, dst."

Kesedihannya berlipat-lipat. Mungkin juga bercampur dengan kemarahan bila trauma itu ternyata belum pulih. Saya kira sulit untuk pulih karena bertahun-tahun lamanya ia terus berkutat dengan kehidupan yang tak berubah. Wallahualam. 

Bagaimana hatinya dan kehidupannya pasca anak bungsunya meninggal? Orang-orang di sekitar, termasuk saya, berspekulasi tentang hati dan pikirannya. Pun bagaimana kakak kembar almarhum yang pasti amat terpukul. Ia kehilangan separuh hidupnya. Anak ini pasti paham betul kondisi adik kembarnya. Mengapa adiknya sampai sakit separah itu? Mengapa adiknya tidak mau makan sebulan lamanya hingga ia jatuh sakit sangat parah?

Saya sendiri tidak tahu apa yang harus saya lakukan dengan kondisi tetangga yang sangat dekat ini. Dua hari terakhir ini saya berpikir untuk mengunjungi sang ibu. Membawakannya sesuatu yang mungkin ia suka, mengajaknya ngobrol hal-hal ringan yang mungkin bisa menghibur hatinnya. 

Sebenarnya saya ingin menjenguk anaknya ketika masih di rumah sebelum opname di rmh sakit tempo hari. Sayangnya saya belum sempat. Saya juga belum sempat menjenguk anaknya di rumah sakit. Akhirnya saya hanya bisa melihat tubuhnya terbujur kaku tertutup kain batik sebelum dikafani.

Secuil Harapan dan Doa

Ingatan-ingatan tentang Hadi, almarhum, kini dipenuhi ingatan-ingatan sedih. Karena saya tahu masa-masa mencekam waktu bapaknya teriak2, marah2 gedor2 pintu lalu menalak ibunya saat itu juga. 

Talak yang dijatuhkan dalam situasi penuh kemarahan tanpa menjaga kehormatan ibu dari anak-anaknya. Kami semua tetangga di sekitar rumahnya mendengar jelas kebrengsekan manusia itu. Laki-laki yang dipanggil ayah, laki-laki dewasa yang seharusnya bisa lebih mengendalikan diri. 

Peristiwa kelam itu terjadi sekira 10 atau 11 tahun silam. Tapi detailnya saya masih ingat sangat jelas. Setiap ingat, rasanya ingin memaki orang itu. Atas semua kezaliman yang dilakukannya, semua penderitaan anak-anak dan mantan istrinya adalah tanggung jawab dia. Puncaknya adalah anak bungsunya meninggal dunia akibat kemarahan luar biasa kepada bapaknya. Semua salah bapaknya!

Tiga malam ini tahlilan diadakan di rumah neneknya. Makanan mengalir banyaknya. Saya dan suami membayangkan seandainya dulu aliran makanan ini diberikan pada almarhum dengan tulus, mungkin jalannya akan berbeda. Gimana pun, suratan takdirnya begitu. Allah sudah mengaturnya. Allah menggariskan yang terbaik.

Saya memang masih ragu bapaknya bisa sadar setelah musibah ini. Tapi saya juga percaya Allah selalu punya cara misterius menyadarkan hamba-Nya. Semoga kakak kembarnya bisa mengatasi kondisi ini. Semoga Allah membantu mereka senantiasa tabah dan luka-luka batinnya sembuh kelak. 

Yang pasti almarhum sudah tidak sakit lagi. Ia memang tak bisa melanjutkan sekolah ke pesantren seperti yang sangat ia harapkan. Namun, ia kini sudah terbebas dari kemarahan dan kesakitan juga kekecewaan kepada bapaknya. Damai di sisi Allah ya,dek. Al Fatihah...




No comments