Showing posts with label filsafat. Show all posts

Belajar Sejarah dari Film-Film Klasik




Banyak jalan menuju Roma,
banyak cara untuk belajar sejarah

Apa yang menarik dari film klasik?

Kalau ini film klasik dalam pengertian tahun pembuatannya, seperti Oshin, Little House in The PrairieOliver Twist, dan Annie, yang menarik adalah settingnya atau latar ceritanya, baik waktu, tempat, maupun suasana. Karena ia klasik, semua tertata secara alami bukan rekayasa. Takkan kita jumpai pemasangan properti yang kurang pas akibat kealpaan kru properti. 

Teknologi yang menjadi bagian dari latar film menunjukkan pada kita tentang tahapan-tahapan kemajuan zaman. Misalnya film Les Miserables yang dibintangi Hugh Jackman dan Anne Hathaway. Di film itu digambarkan transisi masyarakat di era Revolusi Industri.  

Film klasik juga secara langsung menyampaikan sejarah peradaban manusia dari waktu ke waktu. Film petualangan romantis Far and Away yang dibintangi Tom Cruise dan Nicole Kidman merupakan salah satu contoh. Berlatar tahun 1890an, Tom Cruise dan Nicole Kidman ikut serta dalam perjuangan mendapatkan lahan dengan cara siapa cepat, dia dapat atau yang dikenal dengan Land Run.

Perjuangan kaum kulit hitam mendapat hak-hak politiknya dalam sejarah peradaban Amerika kita jumpai dalam film yang saya lupaa banget judulnya. Kisah-kisah perbudakan ini bisa dijumpai juga dalam film klasik produksi Amerika Latin, seperti Little Missy dan Isaura. Nah, di film ini, saya suka lihat gaun-gaun cantik yang dikenakan tokoh-tokohnya. Sila googling untuk informasi lebih lanjut ;)

Dari film klasik pula, saya belajar tentang intrik-intrik politik perebutan tahta yang rumit pada keluarga kerajaan. Mungkin ada yang pernah nonton Curse of  The Golden Flower? film yang diceritakan berlatar belakang Dinasti Tang pada tahun 928 ini megah luar biasa. Jutaan bunga seruni gugur kala putra-putra Sang Kaisar tewas begitu juga sang permaisuri yang ternyata punya affair dengan anak pertama kaisar dari istri sebelumnya. Ruwet banget konfliknya, tapi properti film ini glamour banget.

Dari Korea, ada drama keren banget dengan tokoh utama juru masak Jang Geum dalam Jewel in The Palace. Tema utama drama serial ini adalah  gambaran tentang budaya Korea yang tradisional, termasuk makanan serta obat-obatan istana kerajaan Korea. Saya menjadi tahu tentang cara tradisional Korea mengawetkan makanan.
Oh ya, film-film klasik Cina, seperti Pendekar Rajawali, Pedang Pembunuh Naga, dan sebagainya pernah saya tonton sampai selesai. Selain ceritanya yang menarik, saya sekaligus belajar tentang silsilah dinasti di Cina. Termasuk perubahan model rambut pria di zaman itu. 

Jangan lupa juga dengan film-film klasik anak-anak yang tidak kalah menariknya. Saya paling suka kisah Henzel dan Gretel yang pergi ke hutan lalu terpesona melihat rumah yang terbuat dari kue-kue, permen, dan cokelat. Ternyata pemilik rumah itu adalah nenek jahat yang suka makan anak-anak. Ini sebenarnya jenis film thriller anak-anak ya? Cuma dulu belum paham genre film :D

Film Klasik Indonesia 

Bagaimana dengan film klasik Indonesia? Ada Sitti Nurbaya dan Sengsara Membawa Nikmat. Dua film ini sebenarnya termasuk sinetron ya? Kalau film, ada Naga Bonar yang amat legendaris sampai dibikin sekuelnya Naga Bonar Jadi 2. 

Saya inget pernah nonton film Sunan Kalijaga di bioskop bersama keluarga waktu masih SD. Tokoh utama Sunan Kalijaga diperankan Deddy Sutomo (alm.). Yang paling teringat dari film itu adalah scene Sunan Kalijaga muda bersemedi di dalam sungai hingga ia menua. Saya sangat terkesan pada film itu hingga hari ini. Film Sunan Kalijaga ini menceritakan proses masuknya Islam ke Jawa Tengah dan sekitarnya

Karena sejak usia kanak-kanak sering menonton film-film klasik, saya jadi sangat menyukai sejarah. Film-film klasik menyajikan berbagai pengetahuan tentang peradaban masyarakat di masanya. Wawasan dan pengetahuan saya bertambah dan mendorong saya belajar lebih banyak untuk melengkapi informasi yang belum lengkap dari film yang saya tonton.


Review Film Ave Maryam: Kisah Tentang Nafsu dan Rasa Bersalah

siswiyantisugi.com
Suster Maryam (dok.id.bookmyshow)

Film Ave Maryam besutan sutradara Ertanto Robby Soediskam mulanya berjudul Salt is Leaving The Sea. Filim ini dirilis pada 11 April 2019 di bioskop Indonesia. Sebelum diputar di Indonesia, film yang mengambil latar tahun 1998 ini sudah diputar di beberapa festival film internasional. 

Ave Maryam bercerita tentang kisah cinta terlarang antara dua insan yang sudah berkaul untuk hidup selibat. Film berlatar kehidupan biarawati di asrama kesusteran ini menjadi sangat istimewa karena tidak lazim diangkat di ranah film Indonesia. 

Sinopsis Film Ave Maryam

Film dibuka dengan sosok Suster Maryam yang sedang berdoa di gereja. Scene selanjutnya menggambarkan suasana pagi di Kesusteran Mitra Sepuh, Semarang. Kesusteran ini merupakan tempat para suster sepuh menjalani hari - hari tua mereka. 

Suster -  suster sepuh ini dirawat para suster yang usianya lebih muda. Suster Maryam (Maudy Kusnaedi), Suster Mila (Olga Lydia), dan suster lainnya  merawat para suster sepuh dengan sangat telaten. 

Mereka bahu - membahu mencuci pakaian, menyiapkan makanan, mendampingi para suster sepuh sebelum tidur hingga memandikan mereka. Keheningan menjadi karib para suster menjalani hari - hari mereka. 


siswiyantisugi.com
suasana sarapan (dok.kincir.com)

Adalah Maryam, suster berusia 40 tahun yang katanya berlatar belakang seorang muslim lalu entah bagaimana ceritanya ia menjadi seorang suster. Maryam seorang introvert yang memendam semua isi hati dan pikirannya. Meskipun ia membaca Madam Bovary, Maryam berjarak dengan bacaannya. 


Suatu hari ia bermimpi membuka jendela dengan deburan ombak di hadapannya. Seekor kupu - kupu kecil berwarna biru melintas masuk. Mimpi ini menjadi analogi kegelisahan dan kekosongan hati Maryam menjalani kehidupannya. 

Cinta Terlarang

Kekosongan hati itu mulai terisi ketika Romo Yosef yang diperankan Chicco Jeriko hadir di lingkungan gereja. Romo muda yang ganteng ini bertugas sebagai pengajar musik orkestra untuk persiapan Natal. 

Perkenalan awal memang biasa. Malam itu, hujan sangat lebat ketika rombongan Romo Martin, Romo Yosef, dan suster sepuh Monic tiba di kesusteran. Romo Yosef pun berkenalan dengan Suster Maryam dan suster lainnya.


siswiyantisugi.com
perkenalan suster maryam dan romo yosef (idntimes.com)

Cinta mulai bersemi ketika diam - diam Suster Maryam sering memperhatikan Romo Yosef memimpin latihan orkestra. Pun dengan Romo Yosef. Ia jatuh hati pada sosok yang amat bersahaja ini. 

Romo ganteng pun mengajak Suster Maryam berjalan - jalan di malam hari. Setelah berkali - kali ditolak, pada suatu malam Romo Yosef mengajak Suster Maryam 'mencari hujan di tengah kemarau.' 

Ajakan romantis itu takkuasa ditolak Maryam. Akhirnya mereka pun berkencan di sebuah restoran. Scene di restoran ini sangat menarik menurut saya. 

Keduanya tidak bicara, tetapi isi hati mereka tersampaikan melalui dialog dari film klasik yang saat itu diputar di restoran. Hanya bahasa mata dan senyum penuh arti terpancar dari keduanya. 

Pertemuan - pertemuan rahasia keduanya terus berlanjut. Sejak kasmaran, Suster Maryam yang biasanya disiplin dan rajin kerap lalai pada tugas - tugasnya. Ia lupa harus membantu Suster Monic minum obat sebelum tidur. Ia bahkan sering terlambat hadir di misa pagi. 


siswiyantisugi.com
Maryam dan Yosef (dok. idntimes.com)


Puncaknya adalah di hari ulang tahun Suster Maryam. Usai merayakan ulang tahun romantis bersama Romo Yosef di pantai, Suster Maryam menangis sepanjang perjalanan pulang. 

Romo Yosef hanya bisa menyetir dalam diam. Ia memandangi kekasih hatinya dengan perasaan kalut yang sama.

Mobil melintasi jalanan sepi dengan pepohonan di kanan kiri. Diiringi suara Aimee Saras menyanyikan The Sacred Heart  sepanjang scene pulang, suasana terasa menyayat hati menggambarkan kepedihan hati keduanya.

Setibanya di halaman kesusteran, hujan sangat lebat. Romo Yosef berusaha mengatasi rasa kalutnya. Ia merokok di bawah hujan, merenungi takdir. Suster Maryam hanya bisa memandangi sang kekasih. Ia menyadari kondisi mereka yang ada di persimpangan.

Ketika Maryam membuka pintu ruang depan, lampu sontak menyala. "Selamat ulang tahun!" Ruangan menjadi semarak. Para suster memeluknya. Mereka mengucapkan selamat dan doa. Suster Maryam terpana dan menangis terharu. 

Tangisnya makin menjadi ketika Suster Monic menggenggam tangannya. Suaranya serak menahan tangis,
"Aku tahu perasaanmu. Antara bertahan pada kaul atau mengikuti yang tak terlihat. Jika surga belum pasti buatku, untuk apa aku mengurusi nerakamu." 
Selepas Suster Monic meninggalkannya, Maryam menangis histeris. Adegan ini menyiratkan betapa kalut hatinya; betapa ia sangat bingung, sedih, marah, dan kecewa pada nasib. Pada persimpangan antara cintanya pada Yosef atau tetap kukuh pada janjinya melayani Tuhan. 

Merasa sangat berdosa, Maryam memutuskan meninggalkan kesusteran. Ia mengemasi barang -barangnya lalu berpamitan pada semua suster. Namun, ia tidak pamit pada Yosef. Diiringi isak tangis, Maryam melangkahkan kaki menuju stasiun kereta. 

Saat ia sudah duduk di dalam kereta, Maryam melihat kekasihnya di balik jendela. Mereka saling memandang. Maryam segera turun dan mencari sosok Romo Yosef. Ternyata itu hanya halusinasi akibat pikiran yang kalut. Maryam pun menangis tergugu. Ketika kereta bergerak pergi, Maryam hanya memandanginya dengan hati kosong. 

Sementara itu, di ruang duduk kesusteran, terjadi perdebatan tentang dosa dan kehendak Tuhan di antara para suster dan Romo Yosef. Perdebatan itu disudahi oleh pernyataan getir Romo Yosef yang kehilangan Maryam, 
"Kenapa kita harus takut mempertanyakan dosa - dosa? Jika Tuhan hanya bisa ditemukan melalui pertanyaan - pertanyaan?" 
Film diakhiri dengan suara langkah kaki Maryam meninggalkan bilik pengakuan dosa. Ia membawa kepedihan hatinya menjauh dari Yosef. Akan ke manakah Maryam? Robby Ertanto sebagai sutradara sekaligus penulis cerita membiarkan penonton menjawabnya sendiri.

BTW, tahukah kamu siapa pastor yang menerima pengakuan dosanya? Silakan temukan jawabannya dengan menontonnya sendiri di Netflix :) 

Simpulan Film Ave Maryam 

Film ini sangat mengesankan bagi saya. Jujur, saya sangat jarang menonton film Indonesia karena rata - rata ceritanya ya begitulah.. Namun, Ave Maryam menawarkan banyak perbedaan. Mulai dari pemilihan tema, latar cerita, alur cerita minim dialog, dan sinematografi yang sangat cantik. 

Ave Maryam menceritakan kehidupan di tahun 1998 berlatar kecantikan Kota Lama Semarang. Salah satu lokasi yang digunakan dalam film ini adalah Lawang Sewu. Romo Yosef mengajar orkestra untuk muda - mudi gereja di bangunan ini. Ia juga berkencan dengan Maryam di sini. 

Sudut pengambilan gambar tangga - tangga di Lawang Sewu dari atas menghasilkan gambar yang estetis. Menurut saya, tangga - tangga ini tampak seperti alat musik harpa. 

Suasana Kota Lama pada siang dan malam hari digambarkan dengan romantis. Pun kesibukan yang hening di kesusteran saat para suster memasak, mencuci pakaian, dan bercengkerama menunjukkan sinematografi yang ciamik. 

Kerja keras itu tak sia -sia. Sinematografi Ave Maryam mendapat penghargaan di Hanoi Festival Film. Luar biasa bukan? 

Begitu pula dengan akting para pemain. Peran Maryam adalah kali pertamanya Maudy menjadi pemeran utama selama ia terjun di dunia akting. Kemampuan aktingnya memang mumpuni. 

Ia berakting tidak hanya melalui bahasa tubuh, tetapi matanya pun berbicara. Kita bisa melihat sosok Maryam yang introvert dari sorot matanya. Aktingnya sebagai Maryam membawa Maudy menerima penghargaan Aktris Pilihan dari Festival Film Tempo. 

Romo Yosef yang gaul dan ganteng. Chicco Jerikho sudah piawai di bagian ini. Kegelisahan dan kerinduannya digambarkan secara implisit. Saat ia termenung duduk sendirian di restoran memikirkan Maryam yang sudah pergi. 

Begitu juga akting Tuti Kirana sebagai Suster Monic yang sudah amat sepuh. Suster senior ini sepertinya pernah mengalami masa rumit dalam hidupnya.  Tak banyak bicara, judes, dan dingin. Sementara Suster Mila diperankan dengan apik oleh Olga Lydia. Suster kepala yang tegas, ramah, dan penuh perhatian.

Bagaimana akting Joko Anwar sebagai romo senior? Hm..menurut saya sih aktingnya masih kaku. Mungkin karena jam terbangnya lebih banyak sebagai sutradara bukan sebagai aktor ya? :D 

Sepanjang film saya merasa amat terharu dengan kebersahajaan kehidupan para suster yang ditampilkan. Perilaku mawas diri dan keberserahan pada Tuhan tergambar jelas dari setiap tokoh. Saya belajar banyak dari spiritualitas yang tersirat dalam film ini. 

Cinta dan kemanusiaan adalah dua unsur spiritualitas yang ingin disampaikan Ertanto Robby Soediskam. Cinta yang tumbuh di antara anak manusia sangat manusiawi. Siapa pun bisa mengalaminya. Namun ketika itu dirasakan dua insan yang sudah mengikat janji dengan Tuhan, kondisinya sangat dilematis; membuat mereka ada di persimpangan. Mengikuti kaul atau mempertahankan cinta manusia? 

Durasi film selama delapan puluh menit sebenarnya masih kurang. Banyak alur cerita yang menimbulkan teka - teki bagi penonton. 

Tentang mengapa Suster Monic begitu dingin pada Maryam? Mengapa ia bernama Maryam bukan Maria? Mengapa Maryam mengucapkan Alhamdulillah? Benarkah ia sebelumnya adalah seorang muslim? Pertanyaan lain yang penting juga menurut saya, "Mengapa adegan di pantai dihapus?" Itu kan bikin penasaran. hehehe.. 

Yah, meskipun setelah saya konfirmasi pada Robby sang sutradara, ia kukuh mengatakan tak ada scene yang dipotong. Namun, di luar sana banyak yang bilang scene di pantai dipotong karena kuatir menimbulkan kontroversi di Indonesia. 

Baiklah, kendati film ini meninggalkan banyak teka - teki, saya akui film ini sangat keren. Banyak pelajaran dan wawasan baru bagi saya yang sangat awam mengenai kehidupan para suster menjalani hidup selibatnya. 



































Akulah Sejarah dan Masa Depan Itu

siswiyantisugi.com 
                                                                             freepik.com

Belasan tahun silam, di kelas Filsafat Sejarah, dosen saya menjelaskan definisi lompatan kuantum dalam Filsafat Sejarah. Setiap detik yang bergeser adalah sejarah. Di titik itu, ketika sejarah tercipta sekian banyaknya, kita menerjemahkan semua yang sudah terjadi dalam masa lampau, masa kini, dan masa depan.

Penjelasan tentang lompatan kuantum dalam Filsafat Sejarah membekas begitu dalam di hati saya. Ketika beliau mengatakan bahwa perjalanan hidup kita adalah kumpulan sejarah, saya merasa sangat tua. hehehe.. Dalam bayangan saya, sejarah identik dengan kerapuhan usia. Ternyata semakin bertambah usia, semakin kaya pemahaman kita tentang perjalanan manusia dari masa ke masa. Sejarah takhanya kotak kenangan yang dibuka sesekali saat rindu, tetapi juga menjadi acuan merencanakan masa depan. Kita menyebutnya prediksi, visi, dan misi. 

Waktu takpernah berhenti. Ia bergerak terus dalam hitungan detik, menit, jam, hari, minggu, tahun, dan seterusnya. Begitu pula manusia yang hidup dalam perjalanan waktu. Pada setiap detik yang berganti, pada saat itulah manusia menciptakan sejarahnya sendiri. 

Bagi sebagian orang, sejarah mungkin terasa berjarak. Sejarah serupa masa lalu yang tersimpan pada buku - buku tebal di perpustakaan. Ia berdebu karena hanya dijenguk jika perlu. Padahal sejatinya , kita adalah sejarah itu sendiri. Kita adalah bentuk relasi kasih sayang ibu dan ayah. Kita adalah bagian dari silsilah keluarga besar yang demikian panjangnya. Dan kita adalah gambaran tentang masa lalu apa pun perjalanannya. 

Sebagai manusia yang berevolusi dalam perjalanan waktu, kita terus melakukan lompatan kuantum. Kita menciptakan begitu banyak peristiwa di masa lalu. Kita juga menggunakan masa lalu sebagai petunjuk dalam perjalanan kita di masa kini. Sebagian orang mengandalkan perjalanan orang lain untuk menentukan arah. Namun, sebagian yang lain, memilih mengandalkan perjalanannya sendiri sebagai kompasnya. 

Refleksi Sejarah dalam Ilmu Titen 

Pernahkah kamu mendengar istilah ilmu titen? Dalam bahasa Jawa, ilmu titen adalah ilmu memahami peristiwa yang sedang terjadi berdasarkan rangkaian peristiwa masa lalu. Ilmu titen mungkin lekat dengan kebiasaan orang - orang tua dalam memahami pertanda - pertanda kehidupan. Padahal sebenarnya, ilmu titen juga diterapkan dalam aktivitas ilmiah. Sebutlah prakiraan cuaca. Ketika BMKG memprediksi suatu wilayah akan hujan, banjir, atau badai, BMKG melakukan penghitungan secara akurat juga berdasarkan pertanda - pertanda lain yang mempunyai siklus teratur sebelumnya. Awan bergulung, kecepatan angin, dan sebagainya. Ilmu titen pula yang digunakan para petani untuk memutuskan masa tanam padi. Rasi bintang yang muncul di langit bisa menjadi salah satu sumber analisis ilmu titen para petani dan nelayan.

Ilmu titen pun berlaku pada bidang politik, sosial, ekonomi, kesehatan, budaya, dan bahkan spiritualitas. Perubahan pola perilaku masyarakat sebenarnya bisa diprediksi sebelumnya. Apa pun yang terjadi di dunia ini sebenarnya bentuk perulangan dari peristiwa - peristiwa masa lalu. Wujudnya saja berbeda, tetapi substansinya tetap sama. Contoh sederhana adalah prediksi terhadap terjadinya resesi ekonomi di dunia saat ini. Terlepas dari penyebabnya, prediksi tersebut berdasarkan penghitungan kondisi mikro dan makro ekonomi saat ini juga perbandingan terhadap kondisi di masa lampau.

Terlebih pada bidang sosial budaya. Refleksi sejarah amat terasa di kedua bidang tersebut. Perilaku masyarakat, selera musik, fashion, pun pergeseran standar nilai baik dan buruk yang terjadi saat ini taklepas dari peristiwa masa lalu alias sejarah. Bahkan ketika para pemimpin dunia berdiplomasi mencegah perang dingin berkembang tak terkendali menjadi perang senjata, mereka becermin pada peristiwa masa lalu. Tentang penderitaan, ketidakadilan, kerusakan, dan sebagainya.

Penutup

Manusia sebagai pencipta sejarah dan penentu masa depan peradaban kehidupan seharusnya mampu menjaga kewarasannya agar bisa saling menjaga dan merawat kemanusiaan. Setiap orang sebenarnya mempunyai ilmu titen yang berbeda karena pengalaman hidup masing - masing tentu sangat personal. Kemampuan kita mengoptimalkan refleksi ilmu titen ini sebenarnya bisa menyelamatkan kita dari keputusan - keputusan yang salah akibat ketidakpuasan terhadap masa lalu. 

Seperti yang disampaikan Aristoteles pada suatu waktu, "Teruslah berdialog dengan sejarah agar hidup taksalah arah."




Perjalanan Mencari Esensi Kehidupan




www.pixabay.com

Seorang sahabat lama yang belasan tahun menghilang, tiba-tiba mengontak saya. Tentu saja saya gembira sekaligus terkejut menerima teleponnya. Keterkejutan saya semakin menjadi mendengar kisah hidupnya selama kurang lebih sebelas tahun terakhir. Ia menghilang karena sibuk dengan perjalanannya mencari Tuhan.

Perjalanan mencari Tuhan tidak dialami oleh semua orang. Pun saya, yang notabene lulusan filsafat. Karena saya lulusan filsafat, saya merasa setengah diri saya adalah filsuf. Klaim yang sombong. hehehe...Meskipun mengklaim setengah diri saya adalah filsuf, saya tetap membatasi diri ketika masuk hutan belantara pencarian Tuhan.

Sedikit intermezzo, berbulan-bulan lalu, saya bermimpi berdiskusi dengan seorang teman. Saya lupa persis isi diskusinya. Yang masih kelas saya ingat adalah pertanyaan teman saya,"Gimana kalau nggak ada jalan keluar?"
Di mimpi itu dengan mantap saya menjawab,"Kan ada Allah."


Saat bangun, saya langsung kagum sama diri sendiri. Di alam bawah sadar pun, saya sudah religius. Halah. Lebay yak? Hahaha...Anyway, kalimat penuh keyakinan di mimpi itu pula  yang membuat saya semakin yakin pada keyakinan saya terhadap eksistensi Tuhan. Meskipun saya tidak melakukan pencarian yang radikal seperti sebagian teman-teman, hati kecil saya juga mencari. Bedanya pencarian yang sangat hati-hati. 


Saya tidak berani membiarkan diri saya ada di hutan belantara pencarian ketuhanan. Hasilnya memang berbeda dengan teman-teman yang mencari dengan pembebasan sebebas-bebasnya. Apa sih pembebasan sebebas-bebasnya? Contoh sederhananya ia melepaskan keyakinannya, melepas atribut yang selama ini menjadi identitasnya, dan sebagainya.


Saya akui, saya tidak seberani itu. Meskipun di bangku kuliah, porsi belajar tentang esensi segala hal dalam kehidupan jauh lebih besar dari teman-teman yang hanya belajar Filsafat di semester 1 dan 2. Proses pencarian saya pun tidak dimulai saat belajar Pengantar Filsafat di semester 1. Atau saat  mengupas teori-teori dasar pemikiran para filsuf di zaman Socrates, Plato, dan Aristoteles. 


Saya masih bergeming saat Mazhab Frankfurt menggoncang pemikiran sebagian teman-teman. Atau saat Baudrillard dan teori simulakranya menjangkiti keyakinan sahabat-sahabat. Bahkan saat Nietzsche bilang,”Tuhan sudah mati,” saya tidak peduli.  Atau ketika Marx bilang,”Agama itu candu, saya tetap membutuhkan agama.  Saya pun tidak terlalu peduli dengan Foucault  yang sempat membuat teman-teman terkagum-kagum. Selama lima tahun berguru di fakultas Filsafat, filsuf yang sangat berkesan di hati hanya dua : Immanuel Kant dengan Imperatif Kategoris-nya dan Ludwig Wittgenstein dengan Language Games-nya.


www.pixabay.com
Hingga hari ini, saya masih berpegang pada pemikiran Kant, “Lakukan kebaikan karena kebaikan itu sendiri bukan karena imbalan atau alasan lain.”  Sementara pemikiran Wittgenstein yang menjadi pegangan hingga hari ini,”Apabila tidak bisa dibicarakan lagi, lalui dengan diam.”


Dari pemikiran kedua filsuf itu, saya tarik benang lain yang mengikat dua pemikiran itu. Benang pengikatnya saya ambil dari pemikiran Nietszche,”Apa pun yang tak membuat kita mati, akan menguatkan kita.” Yup, saat kita merasa sakit dengan kondisi yang tidak nyaman, tetapi kita harus tetap berbuat baik dan dalam kesulitan itu,kita takpunya lagi daya untuk menyampaikan ketidaknyamanan dengan kata-kata, diam menjadi jalan terbaik. 


Itulah yang tersisa dari perjalanan saya selama nyantri di fakultas Filsafat. Lalu, bagaimana dengan pencarian esensial yang sangat khas dengan mahasiswa Filsafat? Pencarian eksistensi Tuhan; pencarian keyakinan yang benar. Jujur, saya tidak terlalu melibatkan diri dengan dua hal itu. Saya lebih fokus pada filsafat manusia. Pada esensi kemanusiaan bukan pada eksistensi Tuhan. Meskipun sebenarnya eksistensi itu akan dipertanyakan saat kita bicara kemanusiaan. Kegelisahan yang menyebabkan Nietszche bilang,"God is dead."


Saya menerima apa adanya yang sudah melekat pada diri saya. Meskipun pada setiap diskusi Filsafat saya bisa berbusa-busa bicara tentang dua hal itu, saya menempatkannya cukup pada keliaran berpikir saja. Tidak saya biarkan masuk terlalu jauh ke dalam hati dan jiwa saya. Saat sahabat lama saya bercerita betapa ia jatuh bangun mencari hal esensial dalam hidupnya sehingga ia nyaris berpindah agama, nyaris putus asa dengan hidup yang sudah dijalaninya, pikiran nakal saya bilang,"Untung dulu saya nggak seserius itu cari Tuhan dan mempertanyakan Islam."


Saya sempat bertanya tentang Tuhan setelah menikah. Saya bertanya,"Apakah Tuhan adalah waktu? Karena di setiap proses kehidupan manusia, selalu ada pernyataan,"Waktu akan menyembuhkan segalanya."  Atau ada juga pernyataan,"Akan indah pada waktunya."


"Apakah Tuhan adalah waktu? Atau apakah Tuhan mengirimkan segala sesuatu lewat waktu? Jadi, apakah waktu itu?" mbulet yak? hehehe...


Seorang senior yang baik hati, saya menyebut dia sebagai mentor saya, menyarankan saya membaca buku Heidegger. Ia seorang filsuf sejarah. Bukunya berjudul Being and Time. Heidegger menjelaskan panjang lebar tentang hubungan antara Yang Ada dan perjalanan waktu. Saya akan menulis tentnag buku ini di tulisan lain. Buku yang rumit, tersendat-sendat saya berusaha memahaminya. Betul memang. Kita tidak bisa sendirian dalam pencarian. Butuh Mentor, dia yang akan membimbing dan menjadi kawan diskusi hingga pertanyaan-pertanyaan terjawab.


Nah, sayangnya, tidak semua pencarian berhenti dengan happy ending. Seorang teman berhenti mencari setelah taksanggup lagi berdampingan dengan kanker otak yang dideritanya. Sahabat lama saya ini berhenti mencari setelah ia bercerai. Teman lain berhenti mencari setelah pindah keyakinan, teman yang lain berhenti mencari setelah orangtuanya meninggal dan sang kakak sakit jiwa.


Duh, kok banyak yang mengerikan ya? Tenang, yang berhenti mencari tanpa ada tragedi pun banyak kok. Yang pasti sih, berani mencari, berani terima konsekuensi.