Showing posts with label pola makan anak. Show all posts

Pola Makan Anak Berawal dari Pola Makan Orangtua

Menu makan sehat di rumah bagian dari parenting
dok.freepik.com

Pernahkah terpikir pola makan anak berhubungan erat dengan keteladanan orangtua? Bagaimana hubungannya? Ternyata pintu masuk pola makan anak berawal dari pola makan orangtuanya. Apakah bapak ibunya hobi jajan? Apakah bapak ibunya terbiasa mengecek kandungan nutrisi pada makanan yang dikonsumsi? Apakah bapak ibunya peduli dengan makanan yang masuk perut mereke setiap hari? 

Dari yang saya amati, habit orang tua di urusan makan merupakan awal dari pola makan anak-anak sejak mereka mengenal MPASI. Sepanjang itu asal-muasalnya? Tentu saja. Bahkan kondisi itu berlaku sejak anak masih dalam kandungan. Wow! Apakah ada yang masih ingat rekam jejak makanan apa saja yang dikonsumsi sejak masa kehamilan? 

Mulanya saya juga tidak percaya dengan teori ini. Setelah membaca dan menyimak banyak referensi, saya baru percaya kalau orangtua menentukan pola makan anak-anaknya. Sejak masa MPASI, anak belajar tentang aneka rasa dan aneka tekstur asli makanan. Pola makan orangtua berperan penting sebagai penentu jenis makanan yang akan diberikan pada anaknya.

Saya ingat waktu baru saja menjadi ibu. Edukasi MPASI di masa itu masih minimalis. Sebenernya lembar KMS dari posyandu adalah panduan MPASI yang tepat. Sayangnya, dulu itu saya underestimate pada pemerintah. Mungkin karena pelayanan fasilitas kesehatan pemerintah di awal 2000an tergolong buruk, saya pun memilih periksa kehamilan dan imunisasi si sulung di klinik swasta. 

Long short story, minimnya edukasi gizi dari dokter anak di klinik swasta membuat saya -mungkin seperti para ibu muda lain- mengandalkan buku-buku menu MPASI. You know lah ya, bahan-bahannya pasti ada butter, keju, salmon, pasta, oatmeal, susu, dan sejenisnya. Saya pun berusaha keras mengadakan bahan-bahan itu padahal di Ternate cukup sulit menemukan keju, butter, dan pasta.

Dulu itu menu wajib anak sulung saya adalah keju dan susu. Saya kira dua bahan makanan ini padat gizi. Padahal saya tidak terlalu suka susu. Saya seringkali mual kalau membuat makanan dengan susu dan keju untuk anak saya. Salah satu contoh waktu saya membuat pure kentang. Asli, saya ngga doyan makanan itu. Eh, saya suruh anak saya mengonsumsinya. Alhamdulillah dia makan dengan lahap. Namanya juga batita pasti enak-enak aja.

Seorang teman bertanya, "Kamu gimana sih ngasih makan ke anak yang kamu aja ngga suka?"

Pernyataan sekaligus pertanyaan teman saya ini sempat menyentil saya. Tapi segera saya tepis setiap melihat anak saya makan dengan lahap menu serbakeju dan susu yang saya berikan padanya. Beranjak besar, di usia sekolah, ia tak suka oatmeal keju susu, ia menolak pure kentang. Ya iya lah, anak saya perlu tantangan tekstur makanan dan beragam rasa. 

Sayangnya ia antinasi, tapi suka kentang dan jagung. Kesukaannya itu sudah melekat sejak ia batita. Ia juga suka ikan kembung kecil-kecil yang digoreng kering sebagai cemilan. Pokoknya jangan nasi. Ia tak suka daging merah karena saya lebih memilih ikan dan ayam. Untuk ayam, saya juga jarang konsumsi karena waktu itu pernah dengar ceramah Elly Risman kalau ayam broiler itu disuntik hormon. Hormon yang menempel di dagingnya menyebabkan anak perempuan lebih cepat puber dan anak laki-laki jadi melambai.

Pola Makan Anak Berawal dari Pola Makan Orangtua

Kebiasaan lain di rumah yang melekat pada anak saya hingga usianya menginjak 20 tahun saat ini adalah dia bisa memfilter makanan dan minuman apa yang akan ia konsumsi. Kebersihan makanan dan tempat jajan pun jadi pertimbangannya bahkan sejak ia masih kanak-kanak.

Sayangnya, dulu saya belum tahu kalau nugget, sosis, biskuit, dan roti-rotian termasuk Ultra Processed food. Berdasarkan referensi dari DR.dr.Tan Shot Yen,M.Hum., Ahli Gizi Masyarakat, Ultra Processed Food. (UPF) adalah sebutan untuk makanan yang sudah melalui berbagai tahap dan jenis proses pengolahan. Jenis UPF ini juga mendapat tambahan berbagai zat lain, seperti garam, gula, lemak, pengawet, pewarna, dan banyak lagi.

Karena banyaknya tambahan zat lain serta berbagai tahapan pengolahan, makanan ultraproses tidak baik untuk kesehatan. Informasi ini meskipun sudah sering digaungkan di media sosial juga di berbagai kesempatan penyuluhan kesehatan, tetap saja masih lebih banyak yang belum tahu. Teman saya yang wanita karier pun tercengang ketika saya bilang nugget dan sosis bukan protein hewani, tapi makanan ultraproses yang didominasi berbagai zat tambahan. 

Ini yang saya maksud dengan pola makan anak berawal dari pola makan orangtua. Kebiasaan menyetok makanan ultraproses agar lebih praktis membentuk pola makan di rumah. Sebenarnya tetap sehat kalau makanan yang disetok itu bukan makanan ultraproses. Apa saja yang bisa kita setok di kulkas? Beberapa di antaranya ayam ungkep, nugget buatan sendiri, ayam katsu yang kita olah sendiri, ikan fillet tanpa tambahan apa pun, dan sebagainya.

Oh ya, makanan berbahan dasar tepung-tepungan sebenarnya juga tidak sehat. Ahli Gizi, Rita Yurnis, menyarankan kita mengudap cemilan dengan bahan dasar tidak mendapat banyak tambahan. Apa saja yang masuk golongan ini? kripik singkong, kripik pisang, talas rebus, singkong rebus, ubi rebus, dll. 

Menu Keluarga Bagian dari Pola Asuh

Mengenalkan anak pada makanan sehat sejak masa MPASI sudah menjad bagian dari pola asuh orangtua membangun mindset anak terhadap makanan. Kalau sejak kecil anak-anak terbiasa konsumsi makanan yang dimasak dari rumah, kebiasaan itu melekat hingga dewasa. Memang sih akan ada keterputusan kebiasaan ketika anak-anak beranjak dewasa, terpengaruh pergaulan, dan terpapar tontonan juga bacaan.

Namun, itu akan sementara terjadi. Alam bawah sadarnya akan membimbing dia kembali pada jalan yang benar karena pondasinya kuat sejak kanak-kanak. Saya mengalaminya sendiri. Semasa kecil terbiasa dengan masakan ibu. Ayah saya juga tidak punya tradisi makan di luar. Paling banter takeaway. 

Kebiasaan itu terbawa hingga saya kuliah di luar kota. Sebagai anak kost, mau tidak mau, saya harus beli makan di luar. Sesekali masak, tapi ternyata itu boros kalau masak untuk sendiri. Karena tidak biasa makan di luar, saya sangat memilih warung atau tempat makan. Kebersihan menjadi faktor penentu saya mau jajan di situ atau cari tempat lainnya.

Ketika saya punya anak, zamannya sudah berbeda. Kesibukan saya membuat saya tidak bisa rutin memasak. Belajar dari cara ibu mertua memanage stok pangan di rumah, saya pun terbiasa mempersiapkan sayuran, lauk, dan bahan -bahan makanan lain dalam jangka waktu tertentu. Saya bagi-bagi dalam tempat berbeda lalu saya simpan di kulkas. Setiap akan makan, tinggal diolah. Tidak repot dan sehat.

Edukasi terhadap anak juga sangat penting. Makanan apa yang boleh sering dimakan atau harus selalu dimakan. Makanan apa yang sesekali saja konsumsinya. Makanan apa yang cukup tau rasanya, tap ngga perlu dibeli lagi. Edukasi itu saya tanamkan terus menerus kepada anak-anak pada berbagai kesempatan. Saya juga memberi contoh pada mereka. Selain itu, saya tidak pernah menyetok makanan ultraproses di rumah. Kami tidak pernah konsumsi nugget dan sosis. Kalau nugget buatan saya pasti ada, tapi kalau sosis, saya belum pernah membuatnya sendiri.Jadi, tak ada sosi di menu makan kami di rumah.

Bagaimana dengan perilaku makan anak-anak di luar rumah? Saya memang tidak bisa memantau fulltime kegiatan anak-anak saya. Terlebih si sulung yang sudah kuliah, sedangkan si bungsu yang baru duduk di kelas 2 pun tidak selalu bisa saya pantau apa saja yang ia konsumsi. Saya paham mereka juga pengin cicip makanan yang sering dikonsumsi teman-temannya. Jajanan di kantin, salah satu contoh. 

Saya mengizinkan mereka jajan dengan banyak pesan sponsor tentunya. Boleh jajan ini, tapi sesekali saja. Makanan itu mengandung bahan pengawet, gulanya tinggi, garamnya juga. Kalau kebanyakan konsumsi, ntar sakit. Sakit itu ngga enak. Kamu pasti paham gimana ngga enaknya sakit. Edukasi itu atau saya menyebutnya doktrin cukup efektif menjaga perilaku makan anak-anak saya. Untuk si bungsu, dia mulai paham dan bisa memilih juga mengatur jajanan yang dia beli. Yah, meski kadang lupa. Eh, tau-tau batuk pilek. Anyway, setidaknya sebagai ibu, saya sudah menanamkan fondasi kesadaran tentang makanan sehat untuk anak-anak saya. 

Berulang kali saya tekankan pada anak-anak, "You are what you eat". Kalau kamu ngga memilah apa yang kamu makan, kalau semua masuk ke perutmu, apa bedanya perutmu dengan tempat sampah?"